Rapat Tertutup DPRD Menyuburkan Korupsi
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Pemerintah, laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), rapat-rapat antara Badan Anggara (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Hingga yang terbaru adalah pembahasan refocusing dan rasionalisasi anggaran guna percepatan penanganan pandemi Covid-19.
Pertanyaannya adalah, kenapa rapat-rapat tersebut harus dilakukan secara tertutup? Ketertutupan pembahasan yang berkenaan dengan anggaran ini, mengindikasikan beberapa hal, yakni : Pertama, politik transaksional.
Salah satu karakteristik dari politik transaksional adalah aktivitas yang dilakukan di ruang-ruang tertutup. Untuk mengelabui “moral publik” dan menghindari tuntutan “etika parlementarian”, maka pengawasan publik mesti mereka hindari.
Kedua, pembahasan dalam ruang-ruang tertutup, bermakna mereka memang sedang merencanakan kejahatan. Persekongkolan selalu berawal dari lorong-lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik.
Jika pembahasan anggaran dilakukan melalui rapat-rapat tertutup, itu artinya sedang ada rencana untuk “mengaburkan” fakta, sekaligus “menghilangkan” jejak kejahatan yang dilakukan.
Ketiga, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Kita harus paham jika korupsi itu subur dan berkembang dalam ruang-ruang gelap.
Logikanya, tidak akan ada suap dan gratifikasi di tengah keramaian yang penuh dengan pantauan publik. Karena alasan inilah kenapa prinsip “transparansi” dan “keterbukaan” selalu dijadikan anti-tesa untuk melawan korupsi.
Sebab hanya dengan keterbukaan dan transparansi inilah, kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan korup dari para pejabat dan penyelenggara negara, termasuk DPRD.